Assalamualikum
wr. Wb.
Ketemu
lagi di coretan saya ya sobat. Dalam artikel saya yang ke 13 ini pastinya tetap
dalam dunia pendidikan saya akan share materi lagi namun sedikit berbeda sobat
karena saya belajar dalam universitas islam kali ini saya akan share materi
agama. Materi ini saya dapat dari dosen saya yang bernama bapak yunis kalau
tidak salah di pertemuan yang ke 4 hehe sebenarnya ini makalah atau tugas
klompok namun saya hanya ambil sebagian saja. Materi yang saya bawakan ini
tentang sumber hukum islam sobat. Jadi, apa saja sih sumber hukum islam?
Berikut beberapa sumber hukum islam beserta penjelasannya
Sumber hukum islam;
1.
AL-QUR’AN
Al Qur’an berisi
wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir)
kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Qur’an diawali dengan
surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan
ibadah.
Al Qur’an merupakan sumber
hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada
hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada
Allah SWT, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.
Al Qur’an memuat berbagai
pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.
a. Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah,
yaitu ketetapan yang berkaitan dengan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar.
b. Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak,
yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti yang baik serta etika
kehidupan.
c. Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni
shalat, puasa, zakat dan haji.
d. Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan
manusia dalam masyarakat.
Isi
Kandungan Al Qur’an
Isi kandungan Al Qur’an
dilihat dari segi kuantitas dan kualitas.
1. Segi Kuantitas
Al Quran terdiri dari 30
Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa kata
2. Segi Kualitas
Isi pokok Al Qur’an
(ditinjau dari segi hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:
1. Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang
mengatur hubungan
rohaniyah dengan Allah SWT
dan hal – hal lain yang berkaitan dengan keimanan. Ilmu yang mempelajarinya
disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam.
2. Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang
mengatur hubungan dengan Allah, dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini
tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya
disebut Ilmu Fiqih.
3. Hukum yang berkaitan dengan akhlak. Yakni
tuntutan agar setiap muslim
memiliki sifat – sifat
mulia sekaligus menjauhi perilaku –perilaku tercela.
2. HADITS
Hadits
merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang
kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum
dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam
haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا ۚ
Artinya: “ Apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hashr : 7)
Perintah
meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW
mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila
seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal
tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat
mulia.
Hadits
merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai berikut.
1. Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan
oleh Al Qur’an, sehingga kedunya (Al Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum
untuk satu hal yang sama.
2. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap
ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya, ayat Al Qur’an yang
memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya
bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana
cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat, tidak memarkan
cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan oelh rasullah
SAW dalam haditsnya. Contoh lain, dalam Al Qur’an Allah SWT mengharamkan
bangkai, darah dan daging babi. Firman Allah sebagai berikut :
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِير...ِ
Artinya:
“Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut,
bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang boleh
dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh
dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Menetapkan hukum atau aturan-aturan
yang tidak didapati dalam Al Qur’an. Misalnya, cara menyucikan bejana yang
dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh kali, salah satunya dicampur dengan
tanah.
Hadits
menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
1. Hadits Shohih, adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya
bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud
adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu
hadits.
2. Hadits Hasan, adalah
hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya
(hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan
pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah
untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting.
3. Hadits Dhoif, adalah
hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau
hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat
satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih
atau hasan yang tidak dipenuhi
3.
IJTIHAD
Ijtihad
ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak
ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal
pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan
hukum-hukum yang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum
yang ketiga.
Hasil ini
berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin
jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,”
bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang
memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab,“Saya akan menetapkan hukum dengan
Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di
dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul
bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an
dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri”
kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju.
Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan
hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits. Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi beberapa syarat
berikut ini:
1. Mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama
yang bersangkutan
dengan hukum.
2. Memahami bahasa arab dengan segala
kelengkapannya untuk
menafsirkan Al Qur’an dan
hadits.
3.
Mengetahui soal-soal ijma.
4.
Menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam menghargai ijtihad,
meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan
yang telah ditentukan.
Islam
bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi
juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat
dan kelapangan bagi umat manusia.
Dalam
berijtihad seseorang dapat menempuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas. Ijma’
adalah kesepakatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu
masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil
ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman
Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولوَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Artinya: “Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan rasulnya dan ulil amri diantara kamu….” (QS An
Nisa : 59)
Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada
orang yang mempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan,
termasuk imam mujtahid. Dengan demikian, ijma’ ulam dapat menjadi salah satu
sumber hukum Islam. Contoh ijam’ ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan,
kemudian membukukannya menjadi mushaf Al Qur’an, seperti sekarang ini.
Bentuk
Ijtihad yang lain
1. Istihsan/Istislah, yaitu
mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara kongret dalam Al
Qur’an dan hadits yang didasarkan atas kepentingan umum atau kemashlahatan umum
atau unutk kepentingan keadilan.
2. Istishab, yaitu
meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan suatu
dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut.
3. Istidlal, yaitu
menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara kongkret dalam Al
Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena telah menjadi adat istiadat atau
kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum agama yang
diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum agama sebelum Islam bisa
diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Al
Qur’an dan hadits.
4. Maslahah mursalah, ialah
maslahah yang sesuai dengan maksud syarak yang tidak diperoeh dari pengajaran
dalil secara langsung dan jelas dari maslahah itu. Contohnya seperti
mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar kerugian pada pemilik
barang, karena kerusakan diluar kesepakatan yang telah ditetapkan.
5. Al ‘Urf, ialah urusan
yang disepakati oelh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya.
6. Zara’i, ialah
pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah atau untuk
menghilangkan mudarat.
4. QIYAS
Qiyas
(analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan
kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan
illat atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir
dan wiski. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut
dalam Al Qur’an karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu
sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al
Qur’an atau hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar
yang ada hukumnya dalam Al Qur’an. Sebelum
mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun
Qiyas, yaitu:
a. Dasar (dalil)
b. Masalah yang akan diqiyaskan
c. Hukum yang terdapat pada dalil
d. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah
yang diqiyaskan.
Demikian materi yang saya share ya sobat, waalaimussalam wr. wb keep smile and matursuwun.
Sip
BalasHapus