Assalamualaikum
Apakabar sobat?. Semoga tidak bosan ya dengan mimin. Karena artikel kali ini mimin
akan bahas materi baru lagi kali ini saya ambil dari matakuliah semantik. Mimin
suka sekali dengan dosen ini karena beliau sangat menguasai materi,cerdas yang
paling penting adalah tidak pandang bulu. Karena bukan rahasia lagi jika banyak
dosen yang pandang bulu dan memberikan nilai dengan hati jadi bukan karena nilai
tugas ataupun kehadiran ya :D. Dalam mata kuliah beliau saya ambil bab tentang RELASI MAKNA dan beliau memakai sebuah buku yang judulnya PENGANTAR SEMANTIK BAHASA INDONESIA yang di terbitkan oleh bandung rinieka cipta jadi apa sih relasi makna itu?. Dalam suatu bahasa, makna kata
saling berhubungan, hubungan ini disebut relaksi makna. Relasi makna dapat
berwujud bermacam-macam. Dalam setiap bahasa termasuk bahasa Indonesia,
seringkali kita temukan adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara
sebuah kata atau satuan bahasa lainya dengan kata satuan bahasa lainnya.
Hubungan atau relasi kemaknaan ini
mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonimi)
kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi),
kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi), dan sebagainyaDalam
setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, makna kata saling berhubungan,
hubungan kata itu disebut relasi makna. Relasi makna dapat berwujud bermacam-
macam antara lain : sinonimi, antonimi dan oposisi, homonimi, homofoni, homografi, hiponimi dan
hipernimi, polisemi, ambiguitas, redundansi. Disini saya akan menjelaskan satu
persatu ini saya ambil dari buku pengantar
semntik bahasa Indonesia .
1. Sinonimi
Secara etimologi kata sinonimi berasal
dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti ‘nana’, dan syn yang berarti
‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Sacara samantik Verhaar (1978)
mendefenisikan sinonimi sebagai
ungkapan (bias berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih
sama dengan makna ungkapan lain.
Contoh :
Buruk =
jelek
Laris = laku
Dahaga = haus
Datan =
tiba
Pintar =
pandai
Usang =
lama
Hancur =
musnah
Pulang =
kembali = balik
Masyarakat = rakyat = warga
Hadiah = pemberian
Pria = laki- laki
Enak = lezat
Tampan = ganteng
Hanjur = musnah
Mati = meninggal
Dari
contoh diatas dapat dilihat kata – kata bersinonim, dan tidak semua sinonim bisa dipertukarkan begitu saja.
Contoh
kalimat :
Anjing
meninggal ditabrak mobil
Kata meninggal pada
kalimat di atas tidak tepat, karena kata meninggal lebih tepat ditujukan kepada
manusia, atau kata meninggal diganti dengan kata mati. Yang lebih tepatnya
anjing mati ditabrak mobil. Jadi kata sinonim bisa digunakan sesuai dengan
kepada siapa yang ditujukan pembicaraan tersebut. Misalnya kata aku dan saya
kedua kata tersebut bersinonim, tapi kata aku lebih tepat dipakai untuk teman
sebaya, dan kata saya lebih tepat digunakan untuk orang yang lebih tua dari kita.
Jadi, kata sinonim digunakan sesuai dengan waktu, tempat,bidang kegiatan,dan lain – lain.
Makna
dua buah kata yang bersinonim tidak pernah mempunyai makna yang sama persis,
mutlak atau simetris. Kesinoniman mutlak atau kesinoniman simetris tidak ada dalam
perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia. Hal itu disebabkan oleh
faktor-faktor sebagai berikut:
a.
Waktu
Misalnya
kata hulubalang dan komandan merupakan dua buah kata yang bersinonim tetapi
karena faktor waktu, maka kedua kata tersebut tidak bisa dipertukarkan.
Hulubalang hanya cocok untuk situasi kuno, sedangkan komandan cocok untuk
situasi masa kini.
b.
Tempat atau daerah
Misalnya
kata saya dan beta merupakan dua kata yang bersinonim , tetapi kedua kata
tersebut tidak dapat dipertukarkan. Beta hanya cocok digunakan dalam konteks
pemakaian bahasa Indonesia timur (Maluku).
c.
Sosial
Misalnya
aku dan saya adalah dua buah kata yang bersinonim, teapi kata aku hanya dapat
digunakan untuk teman sebaya dan tidak digunakan kepada orang yang lebih tua
atau status sosialnya lebih tinggi.
d.
Bidang Kegiatan
Misalnya
kata tasawuf, kebatinan, dan mistik adalah tiga buah kata yang bersionim. Namun
kata tasawuf hanya lazim dalam agama islam, kebatinan untuk yang bukan islam
dan mistik untuk semua agama.
e.
Nuansa Makna
Misalnya
kata-kata melihat, melirik, melotot, meninjau, atau mengintip adalah kata-kata
yang bersinonim. Kata melihat bisa digunakan secara umum, tetapi kata melirik
hanya digunakan untuk menyatakan melihat dengan sudut mata, melolot hanya
digunakan dengan mata terbuka lebar, meninjau hanya digunakan hanya dugunakan
hanya dugunakan untuk menyatakan melihat dari tempat yang jauh.
Beberapa
hal yang harus diperhatikan dalam sinonim bahasa Indonesia
1) tidak semua kata dalam bahasa Indonesia
memiliki sinonim. Misalnya kata salju, batu, kuning, beras, tidak mempunyai
sinonim.
2) kata-kata
bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian. Mislanya
kata benar dan betul, tetapi kata kebenaran dan kebetulan tidak bersinonim.
3) kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada
bentuk dasar tetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian. Misalnya kata jemur
tidak mempunyai sinonim tetapi kata menjemur ada sinonimnya, yaitu
mengeringkan, dan berjemur besinonim dengan berpanas.
4) ada kata-kata yang yang dalam arti
sebenarnya tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam arti kiasan justru mempunyai
sinonim, misalnya kata hitam dalam arti sebenarnya tidak mempunyai sinonim,
tetapi dalam arti kiasan hitam bersnonim dengan gelap, buruk, jahat dsb.
2.
Antonimi dan oposisi
Verhaar
(1978) mendefinisikan antonimi adalah ungkapan (bisa berupa kata, tetapi dapat
juga berbentuk frase, atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna
ungkapan lain. Antonimi sering disebut dengan lawan kata, maksudnya maknanya
kebalikan dari makna ungkapan lain.
Contoh :
Jujur = bohong
Tipis = tebal
Rajin = malas
Pintar = bodoh
Mahal = murah
Kaya = miskin
Surga =
neraka
Gila = waras
Berdasarkan
sifatnya, oposisi dapat dibedakan menjadi :
a. Oposisi Mutlak
Disini
terdapat pertentangan makna secara mutlak. Umpamanya kata masuk dan keluar.
Diantara masuk dan keluar terdapat makna yang mutlak, sebab sesuatu yang masuk
tentu tidak ( belum ) keluar ; sedangkan sesuatu yang keluar tentu sudah masuk.
Misalnya naik dan turun. Diantara naik dan turun terdapat makna yang mutlak,
sebab sesuatu yang naik tentu tidak (belum) turun; sedangkan sesuatu yang turun
tentu sudah naik.kedua proses ini tidak dapat berlangsung bersamaan, tetapi
secara bergantian.
b. Oposisi Kutub
Makna
kata yang termasuk oposisi kutub ini pertentangan tidak bersifat mutlak,
melainkan bersifat gradisi, artinya terdapat tingkat – tingkat makna pada kata
tersebut. Misalnya kata kaya dan miskin adalah dua buah kata yang beroposisi kutub.
Pertentangan antara kaya dan miskin tidak mutlak. Orang yang tidak kaya belum
tentu merasa miskin, dan begitu juga orang yang tidak miskin belum tentu merasa
kaya. Bila orang yang biasa berpendapatan satu bulan enam juta , lalu tiba –
tiba menjadi satu juta rupiah, sudah merasa dirinya miskin, sebaliknya orang
seseorang yang setiap bulan hanya berpenghasilan Rp 100.000 ,lalu tiba- tiba
berpenghasilan Rp 500.000 sudah merasa dirinya kaya.
c. Oposisi Hubungan
Oposisi hubungan ini sifatnya saling
melengkapi. Artinya kehadiran kata yang satu karena ada kata yang lain yang
menjadi oposisinya.Misalnya berlajar dan mengajar walaupun maknanya berlawanan
tapi kejadiannya serempak. Proses belajar dan mengajar terjadi pada waktu yang
bersamaan sehingga bisa dikatakan tadakkan ada proses mengajar jika tak ada
proses belajar. Contoh memberi dan menerima walaupun maknanya berlawanan tapi
kejadiannya serempak. Proses memberi dan menerima terjadi pada waktu bersamaan
sehingga bisa dikatakan tidakkan ada proses memberi jika tidak ada yang
menerima. Contoh lainnya kata menjual beroposisi dengan membeli, suami degan
istri. Kata-kata yang beropsosisi hubungan ini bisa berupa kata-kata kerja
seperti maju-mundur, pulang-pergi, pasang-surut, atau berupa kata benda
misalnya ayah-ibu, guru-murid
d. Oposisi Hierarkial
Makna
kata kata yang beroposisi hierakrial ini menyatakan suatu deret jenjang atau
tindakan. Oleh karena itu kata-kata yang beroposisi hierarkial ini adalah
kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang dan isi), nama satuan
hitungan dan penanggalan, nama jenjang kepangkatan dan sebagainya.
Misalnya
meter beroposisi dengan kilometer karena beraada dalam satuan yang menyakatan
panjang. Kuintal beroposisi dengan ton
karena keduanya berada dalam satuan ukuran yang menyatakan berat.
e. Oposisi
majemuk
Oposisi majemuk ini beroposisi lebih dari
sebuah kata. Mislanya kata berdiri bisa beroposisi dengan kata duduk,
berbaring,berjongkok dsb. Misalnya kata
diam beroposisi dengan berbicara, bergerak, dan bekerja. Kata – kata diatas
lazim disebut oposisi majemuk.
3.
Homonimi, Homofoni, Homografi
a. Homonimi
Verhaar
(1978) mendefiniskan homonimi sebagai
ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan
lain tetapi maknanya tidak sama.
Misalnya
bisa yang bermakna racun ular dan bisa yang bermakna sanggup.
Ada
dua sebab kemungkinan terjadinya homonimi yaitu:
1. Bentuk-bentuk yang berhomonimi itu
berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya bisa yang berati racun
berasal dari bahasa Melayu, sedangkan bisa yang berarti sanggup berasal dari
bahasa Jawa.
2. Bentuk-bentuk yang berhomonimi itu
terjadi sebagai hasil proses morfologis. Mislanya mengukur dalam kalimat. Ibu
mengukur kelapa di dapur, adalah berhomonim pada kalimat ayah mengukur
luasnya halaman rumah kami.
Homonimi
juga terjadi pada tataran morfem, kata, frase, dan kalimat
a) Homonimi antarmorfem, tentunya antara
sebuah morfem terikat dengan morfem terikat lainnya. Mislanya morfem –nya pada
kalimat, ini buku saya, itu bukumu dan dan yang disana bukunya berhomonim
dengan –nya pada kalimat mau belajar tapi bukunya tidak ada.
b) Homonimi antarkata misalnya bisa yang
bermakna sanggup dan bisa yang bermakna racun ular. Semi yang bermakna tunas
dan semi yang bermakna setengah.
c) Hominimi antarfrase, misalnya antara
frase cinta anak yang bermakan cita seorang anak kepada orang tuanya dengan
cinta anak yang bermakna cinta orang tua kepada anaknya. lukisan saya yang bermakna
lukisan karya saya, lukisan milik saya atau lukisan wajah saya.
d) Homonimi antarkalimat misalnya istri
lurah yang baru itu cantik yang bermakna
lurah yang baru dilantik itu mempunyai istri yang cantik, dengan lurah itu baru
saja menikah dengan seorang wanita cantik.
b. Homofoni
Homofoni
berasal dari dua kata yaitu kata homo yang bermakna sama dan fon yang bermakna
bunyi, jadi homofoni adalah kata-kata yang mempununyai bentuk yang berbeda,
maknanya berbeda tetapi mempunyai bunyi yang sama. Misalnya kata bang dengan
bank. Bank adalah lembaga yang mengurus lalu lintas uang, sedangkan bang
berasal dari abang yang bermakna kakak laki-laki. Sangsi dengan sanksi, sangsi
yang bermakna ragu dengan sanksi yang bermakna akibat atau konsekuensi.
c. Homografi
Homografi
secara etimologi beras dari kata homo yang bermakna sama dengan graf yang
bermakna tulisan, jadi homografi adalah kata-kata mempunyai tulisan yang sama
tetapi bunyi dan maknanya berbeda. Misalnya teras dengan teras, teras yang
pertama dilafalkan teras bermakna inti
kayu dan teras yang kedua dilafalkan teras yang bermakna bagian dari rumah.
Apel dengan apel, apel yang pertama dilafalkan apěl yang bermakna upacara dan
apel yang dilafalkan apel yang bermakna buah apel.
4.
Hiponimi dan Hipernimi
Kata
hiponimi barasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’ dan hypo
berarti’di bawah’. Jadi secara harfiah berarti ‘nama yang termasuk di bawah
nama lain. Secara semantik Verhaar (1978:137) menyatakan hiponim ialah ungkapan
(biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase atau kalimat) yang
maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain.
Hipernimi
adalah kata-kata yang mewakili banyak kata lain. Kata hipernimi dapat menjadi
kata umum dari penyebutan kata-kata lainnya. Konsep hipernimi adalah kebalikan
dari konsep hiponimi. Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas
bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di bawah makna kata lainnya. Oleh
karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernim dari sebuah
kata merupakan hipernim dari kata lainnya, akan menjadi hiponim terhadap kata
lain yang hierarkial di atasnya.
Contoh:
· Hipernimi: Ikan
· Hiponimi: Lumba-lumba, tenggiri,
hiu, mujaer, sepat, mas, nila dan sebagainya.
· Hipernimi: Bunga
· Hiponimi: mawar, melati, anggrek,
lili, dan sebagainnya.
5.
Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan
bahasa (terutama kata, frase, ) yang memiliki makna lebih dari satu.
Misalnya
kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna
· Bagian tubuh dari leher ke atas
(seperti terdapat pada manusia dan hewan)
· Bagian dari sesuatu yang terletak di
bagian atas atau depan yang merupakan bagian yang penting (kepala Ketera api,
kepala meja).
· Bagian dari sesuatu yang berbentuk
bulat (kepala paku, kepla jarum)
· Pemimpin atau ketua (kepala sekolah,
kepala kantor)
· Jiwa orang seperti dalam kalimat
“setiap kepala menerima bantuan RP. 5000.000”
· Akal budi seperti dalam kalimat “
badanya besar tetapi kepalanya kosong”.
Konsep
polisemi hampir sama dengan konsep homonimi. Perbedaanya adalah homonimi
bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata atau lebih yang kebetulan
maknanya sama. Tentu saja homonimi itu bukan sebuah kata maka maknanya pun
berbeda. Makna kata pada homonimi tidak
ada kaitannya atau hubungannya sama sekali antara yang satu dengan yang
lainnya. Sedangkan polisemi adalah sebuah
kata yang memiliki makna lebih dari satu, makna kata pada polisemi masih ada
hubungannya antara makna yang satu dengan yang lain karen memang kembangkan
dari komponen-komponen makna kata-kata tersebut.
6.
Ambiguitas
Ambiguitas adalah ketaksaan sering
diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Pengertian
ambiguitas hampir sama dengan pengertain polisemi. Perbedaanya terletak pada
kegandaan makna dalam polisemi dari kata, sedangkan kegandaan makna pada
ambiguitas berasal dari satuan yang lebih besar yaitu frase atau kalimat dan
terjadi akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda.
Misalnya buku sejarah baru dapat
ditasfirkan sebagai (1) buku sejarah itu
baru terbit, (2) buku itu berisi sejarah zaman baru. Contoh lain orang malas
lewat sana dapat ditafsirkan sebagai (1) jarang ada orang yang mau lewat si
sini, atau (2) yang mau lewat di sini hanya orang-orang malas.
Pengertian
ambiguitas hampir sama dengan homonimi. Perbedaanya terletak pada apabila
homonimi dilihat sebagai bentuk yang kebetulan sama dan dengan makna yang
berbeda, sedangkan ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan makna yang berbeda
sebagai akibat dari berbedanya penafsiran struktur gramatikal bentuk tersebut.
Ambiguitas hanya terjadi pada tataran frase dann kalimat sedangkan homonimi
dapat terjadi pada semua satuan gramatikal.
7.
Redundansi
Redudansi artinya sebagai berlebih-
lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Umpamanya ibu
membuat kue, maknanya tidak akan berubah bila dikatakan kue dibuat oleh ibu.
Pemakaian kata oleh pada kalimat yang kedua dianggap sebagai sesuatu yang
redundansi, yang sebenarnya tidak perlu. Contoh lain ; petani mencangkul
kebunnya, maknanya tidak akan berubah bila dikatakan petani sedang mencangkul kebunnya. Pemakaian
kata sedang pada kalimat yang kedua dianggap sebagai sesuatu yang redundansi,
yang sebenarnya tidak perlu. Makna adalah sesuatu yang fononema dalam ujaran ,
sedangkan informasi adalah sesuatu yang diluar ujaran. Jadi yang sama antara
kalimat pertama dan kalimat kedua di atas bukan maknanya melainkan informasi.
Demikian
ya sobat share materi tentang relasi makna semoga bermanfaat .Wassalamualaikum
:). Keep smile and matursuwun.
0 komentar:
Posting Komentar